Thursday, June 12, 2014

Sugu ni modorimasu (Segeralah pulang !)

Alhamdulillah meski sederhana cerpen ini bisa dimuat dalam antalogi cerpen "Belati Tembaga" (Lomba Cerpen Nasional yang diadakan Komunitas Mahasiswa Sastra Indonesia FIB UGM 2013)
Semoga bisa menjadi bacaan yang bermanfaat dan inspiratif. Aamiin.
Tetap semangat berkarya !!!

Judul: Belati Tembaga
Penulis: Ahmad Ijazi H dkk
Penerbit: Pustaka Jingga
ISBN: 978-602-7880-57-3
Desain cover: Nur Hanifah
Tebal: 152 hlm ;14x20




Sugu ni modorimasu
(Segeralah pulang !)

            Utrecht. Mentari terbit, menyambut hangat sang pagi. Ia membuka jendela kamarnya dan menengok keluar. Orang-orang sudah ramai memenuhi kanal-kanal. Kano-kano mulai beroperasi menjalankan aktivitasnya. Bel sepeda satu per satu berdering setiap kali melewati belokan jalan.
Hari ini rindu itu akan terobati. Perjuangan itu akan terbayar. Ia mengalihkan pandangan ke dalam kamarnya lagi. Potret itu masih terpajang di meja belajarnya. Ia mendekat, membersihakan kaca pigura kecilnya.
            Masih terngiang dalam ingatannya. Gadis cilik itu berari-lari di bawah pohon beringin kembar. Di tengah alun-alun kota. Ia terus berlari, mengejar abangnya yang usil mengerjainya. Ia masih terus berlari, ketika bapak dan ibunya memanggil.

            “ Ayo, ayo, Arka, Andaru pulang dulu Nak, nanti dimarahi bapak lho!”, wanita paruh baya itu menggiring anaknya pulang ke rumah, hari sudah menjelang maghrib.
           
            Kedua bocah itu berhenti berlari. Keduanya menuruti sang ibu dan segera pulang. Kedua kakak beradik itu mengikuti sang ibu dari belakang. Berjalan sekitar satu kilometer dari alun-alun selatan menuju rumahnya.
            Adzan maghrib pun berkumandang. Dari bilik bambu itu keluarlah empat orang dengan wajah segar siap menuju masjid. Jalanan tampak ramai. Saat itu orang-orang kampung tengah berbondong menuju Masjid Agung, dekat alun-alaun utara. Ya, kedua bocah itu memang suka bermain agak jauh dari rumah, ke dekat Sasana Hinggil, terutama di bawah pohon beringin kembar itu.
            Keempat orang dari bilik itu sampai di Masjid Agung bertepatan saat iqomah. Dua di antaranya masuk lewat pintu sebelah kiri, dua lagi masuk lewat pintu sebelah kanan. Demikian pula saat mereka pulang. Mereka berempat kembali bersama menuju bilik mereka.
            Dengan penerangan lampu minyak dalam bilik bambu itu, keempatnya bersama menikmati sisa sore hari sambil mendengarkan radio RRI Jogja. Sementara si ibu sibuk di dapur mengangkat nasi dari tungku. Menyiapkan menu sayur singkong dan sambal bawang. Wanita itu memanggil-manggil putrinya untuk membantu. Sementara sang ayah setia mendengarkan siaran radio bersama anak laki-lakinya.
            Tak berapa lama, menu makan malam itu datang. Keempatnya menikmati makan malam bersama dalam suasana remang diiringi suara sinden dalam siaran radio.

“ Buk, kapan rumah kita nggak gelap lagi?”, seloroh gadis cilik itu.

“ Besok ya Andaru, kalau ibu dapat jatah mbatik banyak dan bapak bisa bikin bakpia banyak sekali.”, katanya dalam sesungging senyum.

            Lelaki itu, seketika menghentikan makannya. Dilihatnya anak perempuan, bintang kecilnya yang berkali-kali menyakan hal yang sama. Dielusnya rambut anak itu penuh sayang. Sedang si kakak menunduk diam. Meraka kembali melanjutkan makan malam.
            Dan begitulah hari-hari berlalu, hingga kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa. Sudah ada perkembangan. Bilik bambu di sudut kota itu berubah menjadi rumah bertembok beton ukuran kecil dan diterangi oleh sinar lampu neon. Dan masih dengan kebiasaan yang sama. Makan malam bersama, pergi ke masjid bersama. Dan kedua kakak beradik itu masih tetep seperti biasa, berkejar-kejaran di bawah pohon beringin alun-alun kota.
            Ia kembali tersenyum mengingat kelucuan dan perjuangan masa lampau itu. Tak terasa sudah begitu lama. Ia merindukan saat-saat itu kembali. Di rumah kecil, namun penuh suasana keluarga yang hangat. Ia kembali mengingat kapan terakhir kalinya ia memeluk kedua sosok bapak dan ibunya, juga kakaknya.
            Di suatu pagi, bapak sudah berangkat ke pabrik. Dengar-dengar ada pesanan bakpia dari Jakarta. Bapak yang bekerja sebagi buruh di pabrik bakpia begitu menyukai profesinya. Ia membuat bakpianya dengan segenap hati, demi istri dan kedua anaknya yang kini duduk di bangku kuliah.
Sedang si ibu baru saja menjemur kain batiknya. Sudah jadi, tinggal tunggu kering. Rencananya kain batik itu akan dikumpulkan pada juragannya.
            Ia masih ingat bagaimana, sang ibu berjuang dengan tangan seninya, membuat pola-pola batik nan indah dengan canting dan malamnya. Ia masih ingat betul sang ayah yang tak kenal lelah pulang pergi rumah-pabrik untuk membuat bakpia, juga kadang menjadi kuli panggul di pasar Beringharjo dan Kranggan. Hingga tahun-tahun pun berlalu ibunya bisa secara mandiri membuat batik, tak bergantung pada bosnya. Meski cobaan masih terus ada, mengusik kebahagiaan sang ibu, ketika kain-kain batik itu diinjak-injak oleh orang-orang yang tak suka.
            Kini, siapa tahu berkat batik dan bakpia itu keduanya telah berada di negeri mantan penjajah, negeri kincir angin-Belanda dan negeri sakura-Jepang.
Kini,genap empat tahun sudah Andaru di negeri tulip. Empat tahun ia habiskan waktunya di Utrecht University. Baginya di negeri tulip ini ia masih bisa merasa dekat dengan tanah air. Bilamana ia merindukan masakan kampung halaman, ia masih bisa menjumpainya dengan mudah. Bilamana ia merindukan negerinya ia masih bisa melihat kenangan-kenangan sejarah di berbagai museum.
            Berbeda dengan Arka. Negeri sakura sungguh jauh berbeda. Nyaris tak ia temui barang-barang dari Indonesia. Hampir sepuluh tahun tinggal di sana, sama sekali belum ada perubahan. Kadang ia meringis kesakitan. Membayangkan banjirnya produk negeri sakura di negerinya, sedang sebaliknya yang ia lihat di negeri sakura. Yang ia jumpai adalah deretan katakana, hiragana , dan kanji. Kadang ia merindukan negerinya.
            Belum lagi, rasa sedih dan sakitnya yang masih terkenang. Lima tahun yang lalu ia pulang ke negerinya. Ia berharap bisa memberikan karyanya untuk negerinya, namun sayang keinginan mulianya itu belum terwujud. Kini ia hanya bisa menangis dalam hati, melihat karya agungnya mengudara di antariksa. Dan begitulah hidupnya berlanjut di negeri samurai ini. Seolah ia bergantung padanya. Pada setiap paper dan jurnal penelitiannya. Ia menangis setiap kali merindukan kampung halamannya.

Di sebuah laboratorium Tokyo University
Laki-laki itu mengangkat telpon untuknya.

“ Moshi..moshi..”
“ Assalamualaikum..Sensei”, suara merdu itu sangat dikenalnya.
“ Andaru..”
“ Mas, studi dan penelitianku sudah selesai, seminggu lagi aku akan pulang”
“ Syukurlah”
“ Mas Arka kapan pulang?”
“ Bukankah tahun ini tahun terakhir di Tokyo….?”
“ Aku tak yakin, aku terlibat proyek Hayabusa 2.”

            Mendengar jawaban kakaknya, gadis itu tak tinggal diam. Ia masih menyimpan harapan agar kakaknya pulang. Ia ingin harapannya masa kecilnya terwujud, mereka berdua menjadi ilmuwan di tanah air tercinta. Namun, cerita lewat telepon itu terus berlanjut, bagaimana rencana sang kakak akan menghabiskan waktunya ke depan.

“ Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Habibie.”

Pernyataan itu mengetuk pintu hatinya. Gadis itu sedih mendengar sang kakak mengatakannya. Ia sungguh berharap kakaknya segera menyusulnya pulang.

“ Aku sungguh berterima kasih, di Jepang aku bisa menghasilkan banyak karya.”

Satu lagi, pernyataan itu, semakin menyayat hati kecilnya. Dengan kata sopan gadis itu menutup telponnya. Tak kuasa mendengar cerita kakaknya. Airmatanya menetes. Dan siapa yang tahu, laki-laki itu juga demikian keadaannya.
***
            Andaru melangkahkan kakinya ke dekat lemari kecil di sudut kamarnya. Dibukalah lemari itu, diambillah sebuah kotak kardus bersampul coklat. Sebuah kiriman dari Jogja. Ia membukanya.
Beberapa menit kemudian ia sudah berada di kampus dengan motto  "Sol Iustitiae Illustra Nos" "Sun of Justice, shine upon us”,Utrecht University.
            Ia langkahkan kakinya menuju podium. Ia tampak anggun dengan kemeja batik yang dikenakannya. Ya, kemeja itu kiriman ibunya dari Jogja. Ia sudah berikrar akan mengenakan kemeja itu saat upacara wisuda. Dengan lantang ia mengungkapkan kebahagian akan kelulusannya.
            Ia pun pernah berikrar ia akan segera kembali ke Indonesia selepas lulus dari Utrecht. Ia ingin menepati janjinya. Ia akan menjadi ilmuwan di negerinya, ya itulah janjinya. Janji yang mungkin menyisakan sedikit kepedihan jika ia mengingat kakaknya.
***
            Kapan proyek Hayabusa selesai? Itu tanya dalam hatinya. Sungguh setahun berjalan begitu cepat. Ia sudah kembali ke kampung halamannya, memenuhi janjinya. Namun itu masih kurang lengkap baginya. Janji itu belum jua terpenuhi. Sang kakak belum pulang ke tanah air.
            Hayabusa. Ia ingat pernah menonton film itu. Siapa sangka, sang kakak kini terlibat dalam proyek itu. Karya kakaknya ikut mengudara bersama satelit luar angkasa milik JAXA(Japan Aerospace exploration Agency) dengan tujuan meneliti asteroid Mars itu. Itulah yang menyebabkan kakaknya tak segera pulang. Di sisi lain ia sangat sedih jika mengingat kakaknya yang terkesan begitu bahagia di negeri sakura.
Masih ingatkah kakaknya pada janji mereka? Janji bahwa keduanya akan menjadi ilmuwan di negeri ini. Janji yang disaksikan pohon beringin alun-alun kota.

“ Aku akan menjadi ilmuwan fisika di Indonesia. Nanti aku akan menemukan teknologi baru dan mengajak bersama bangsa Indonesia untuk lebih maju,” teriak Andaru waktu itu.
“ Aku akan menjadi ahli astronomi!! Nanti astronomi Indonesia akan lebih maju dari Rusia, Amerika, dan Jepang,” teriak Arka.
“ Tapi, Mas nanti kalau mimpi kita terwujud, kita bisa sekolah di luar negeri, kita harus berjanji kita akan membawa pulang karya kita ke Indonesia.”
“ Janji!!”, keduanya berikrar penuh semangat.

            Ia terus terngiang akan janji itu. Belum lagi ibu dan bapaknya yang semakin bertanya-tanya kapan putranya kembali. Ia pun hanya berharap sang kakak segera pulang memenuhi janji mereka pada tanah airnya. Sekali lagi ia hanya berharap.

Yogyakarta, 1 Januari 2014
Untuk mas Arka,
            Assalamualaikum, salam hangat dari kampung halaman tercinta. Semoga mas Arka senantiasa sehat walafiat.
Mas, bapak dan ibu setiap hari menanyakan kapan mas Arka akan pulang.
Kudengar proyek Hayabusa akan diluncurkan tahun 2014 ini, yang ingin kutanyakan apa mas Arka akan bertahan di Jepang sampai proyek itu selesai tahun 2020?
Ya, memang berat terikat kontrak dengan JAXA. Tapi tidakkah kau ingat pada janji kecil kita?
Tapi bagaimanapun juga kau masih yakin kau ingat pada janji itu, mungkin belum waktunya saja.
            Oya, kudengar namamu kini sudah menggema di Indonesia. Kau begitu terkenal sekarang, bahkan bangsa Indonesia juga mengharapkan kau pulang. Kau sudah berhasil menjadi kebanggaan Indonesia.
            Meski begitu, aku bisa merasakan posisimu sekarang, kami tak bisa berbuat banyak. Kuharap ka uterus berkarya dan kelak pulang ke tanah air untuk memenuhi janji kita.
            Ini ada sekedar kiriman dari bapak dan ibu, mereka ingin kau selelu mengingat Indonesia darinya. Aku juga mengirimu sebuah file lagu yang menjadi kesukaanmu. Semoga kau segera mendengarkannya.
Sugu ni modorimasu. Kami harap kau segera pulang.

Salam hangat keluarga dan Indonesia,
Andaru.

            Lelaki itu baru saja menerima paket dari Indonesia. Ia membuka kardus kecil itu dan membaca surat yang ada di dalamnya. Ada kiriman dari bapak, ibu, dan adiknya. Ia membukanya satu persatu. Sebuah kemeja batik yang dibuat dari tangan terampil sang ibu, beberapa kotak bakpia dari tempat bapaknya bekerja, dan sebuah flashdisk dari adiknya. Ia terharu menerimanya, seolah ia bisa merasakan kampung halamannya.
            Penasaran dengan pesan sang adik, ia pun mengambil laptopnya. Begitu ia membuka file flashdisknya hanya ada satu file di sana. Ia pun membukanya. Seketika hatinya terhenyak, bergetar begitu mendengarnya. Perlahan airmatanya menetes dan tak ada seorang pun yang tahu, kecuali hati kecilnya.

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala, tetap di puja-puja bangsa
Di sana tempat tempat lahir beta, dibuai di besarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…
Sungguh indah tanah air beta, tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya
Indonesia ibu pertiwi, Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi…

            Melodi indah itu menggema dalam kamar kecilnya. Terus mengalir, berulang-ulang dalam melodi yang masih sama. Menjadi saksi tangisnya yang merindukan tanah air tercinta. Rasa rindu yang masih akan ia tahan enam tahun ke depan, menunggu waktu untuk pulang, untuk memenuhi janjinya.

#van Giezt

Kisah ini terinspirasi oleh ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang berjaya di luar negeri, seperti :
Prof. Dr.-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie presiden ketiga Indonesia, penerima Award von Karman (1992) di bidang kedirgantaraan yang setara dengan Hadiah Nobel, Edward Warner Award, peraih gelar Doktor Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagai Universitas terkemuka dunia antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University. Mendesain beberapa proyek pesawat terutama yang paling terkenal N-250, pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman.
Dr.Warsito, penemu teknologi pemindai atau Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) 4 dimensi pertama di dunia, pemilik paten ECVT yang didaftarkan di dokumen paten Amerika Serikat.Teknologi tersebut kini dipakai oleh Badan Antariksa Amerika Serikat atau National Aeronautics and Space Administration (NASA).
Prof . Dr. Mezak Arnold Ratag, penemu Planetary Nebula Cluster, penerima penghargaan The International Astronomical.
Josaphat T.S Sumantyo, penemu radar 3 dimensi peraih berbagai penghargaan dariChiba University. The Society and Control Engineers (SICE) remote Sensing Division Award.
Dr. Johny Setiawan, penemu planet baru HIP 13044b, lulusan doktor termuda di Albert-Ludwigs Universitas, Greiburg, Jerman. Satu-satunya ilmuwan non Jerman yang menjadi Ketua Tim Proyek Max Planck Institute for Astronomy, di Heidelberg, Baden-Württemberg, Jerman sejak tahun 2003.
Prof. Dr. Khoirul Anwar, pemilik paten di Jepang atas sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang.
Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi, penemu Membran Sel Bahan Bakar, doctor of Engineering lulusan dari Waseda University Tokyo Jepang.
Dr. Yogi Ahmad Erlangga, penemu rumus matematika berdasarkan persamaan Herlmholtz guna pencarian sumber minyak bumi, peraih gelar doktor dari Universitas Teknologi Delft, Belanda.
Dan ilmuwan lain yang belum tersebut namanya, yang mungkin tengah merindukan tanah air tercinta, Indonesia.

Praktikum Fisika Zat Padat 2014

Waah sudah lama nggak nge-pos di blog ini...
Maklum belakangan sibuk kuliah, praktikum, dan kegiatan lainnya.
Mumpung masih semangat dengan laporan dan presentasi praktikum, sekaligus berbagi hasil praktikum, ini saya kasih link hasil praktikum kelompok kami.

 NB : Thanks to Khoirul Faiq Muzakka dan Alvi Oktavia atas kerjasamanya dalam tim ini, terimakasih untuk bantuannya teman2. ^_^
Semoga link ini dapat bermanfaat untuk semua pengunjung blog ini.

#Jangan lupa komen ya.. Dank je !

Sunday, June 8, 2014

Di balik pintu (2)

Untuk kawan-kawanku, atau setidaknya kalian yang menganggapku begitu
(Masih dari balik pintu)
Aku tak peduli lagi
Aku ditinggal sendiri
Aku membuktikan lagi
Selangkah aku maju, selangkah aku dibawa mundur lagi
Bukan karena ketidaktahuanku
Bukan karena tembokku yang sulit ditembus
Bukan karena semua itu
Dan aku takkan menyalahkanmu
Sekali lagi, aku dikendalikan prasangkaku
Bahwa aku terlalu membosankan bagimu
Aku tak tahu, apa aku sedang marah untuk itu
Dan aku masih termenung dibalik pintu
Rahasia apapun itu, aku tak perlu tahu
Jika memang aku tak perlu tahu
Aku paham, aku dan kamu
Bermain rahasia, dan aku berada di balik pintu
Aku masih dikendalikan prasangkaku
Tapi ingin memberi kunci itu padamu
Namun jua masih terdiam di situ
Perlahan, prasangkaku berlalu
Maka, maafkan aku

Jika selalu mengusikmu lewat tulisanku

Friday, June 6, 2014

Di balik pintu

Untuk kawan-kawanku, atau setidaknya kalian yang menganggapku begitu
(Ditulis sepenuh hati dari balik pintu)

Sering kubilang tak apa
Aku sudah terbiasa
Dan aku mulai kehilangan cara menikmati rasa itu apa
Selangkah aku maju mendekatimu
Selangkah pula aku dibawa mundur jauh darimu
Selangkah aku tahu
Selangkah pula aku kembali tertinggal
Aku tahu, aku terlalu kikuk menunjukkan kesetiaan dan kepedulianku
Aku terlalu banyak bicara, kadang, bila aku diberi kesempatan
Mungkin karena memang aku perlu seorang pendengar
Yang jarang kesempatan itu kudapatkan
Aku merenungimu di balik pintu,
Aku terlalu ragu untuk memahamimu
Aku bukan dia atau mereka
Yang entah bagaimana caranya, punya banyak hal yang bisa kau kagumi
Aku, seorang yang biasa saja
Aku belum cukup menginspirasi
Dan tidaklah mudah mendapat hatimu
Dan aku sadar, aku tak menginginkan hal lain
Selain menjadi diriku
Dan aku tak meminta kamu memahamiku
Kau membaca sudah cukup bagiku
Kau mendengar sudah cukup bagiku
Ya, inilah aku
Sahabat, kawanmu (jika kau menganggapnya seperti itu)
Kalaupun bukan, belum
Tapi aku sudah cukup bahagia
Ketika kamu mengingat namaku


NB : aku tidak sedang bergurau, kau pun cukup tahu dengan membayangkan ekspresiku