Alhamdulillah meski sederhana cerpen ini bisa dimuat dalam antalogi cerpen "Belati Tembaga" (Lomba Cerpen Nasional yang diadakan Komunitas Mahasiswa Sastra Indonesia FIB UGM 2013)
Semoga bisa menjadi bacaan yang bermanfaat dan inspiratif. Aamiin.
Tetap semangat berkarya !!!
Semoga bisa menjadi bacaan yang bermanfaat dan inspiratif. Aamiin.
Tetap semangat berkarya !!!
Judul: Belati Tembaga
Penulis: Ahmad Ijazi H dkk
Penerbit: Pustaka Jingga
ISBN: 978-602-7880-57-3
Desain cover: Nur Hanifah
Tebal: 152 hlm ;14x20
Sugu ni modorimasu
(Segeralah
pulang !)
Utrecht.
Mentari terbit, menyambut hangat sang pagi. Ia membuka jendela kamarnya dan
menengok keluar. Orang-orang sudah ramai memenuhi kanal-kanal. Kano-kano mulai
beroperasi menjalankan aktivitasnya. Bel sepeda satu per satu berdering setiap
kali melewati belokan jalan.
Hari ini rindu itu akan terobati.
Perjuangan itu akan terbayar. Ia mengalihkan pandangan ke dalam kamarnya lagi.
Potret itu masih terpajang di meja belajarnya. Ia mendekat, membersihakan kaca
pigura kecilnya.
Masih
terngiang dalam ingatannya. Gadis cilik itu berari-lari di bawah pohon beringin
kembar. Di tengah alun-alun kota. Ia terus berlari, mengejar abangnya yang usil
mengerjainya. Ia masih terus berlari, ketika bapak dan ibunya memanggil.
“
Ayo, ayo, Arka, Andaru pulang dulu Nak, nanti dimarahi bapak lho!”, wanita paruh
baya itu menggiring anaknya pulang ke rumah, hari sudah menjelang maghrib.
Kedua
bocah itu berhenti berlari. Keduanya menuruti sang ibu dan segera pulang. Kedua
kakak beradik itu mengikuti sang ibu dari belakang. Berjalan sekitar satu
kilometer dari alun-alun selatan menuju rumahnya.
Adzan
maghrib pun berkumandang. Dari bilik bambu itu keluarlah empat orang dengan
wajah segar siap menuju masjid. Jalanan tampak ramai. Saat itu orang-orang
kampung tengah berbondong menuju Masjid Agung, dekat alun-alaun utara. Ya,
kedua bocah itu memang suka bermain agak jauh dari rumah, ke dekat Sasana Hinggil,
terutama di bawah pohon beringin kembar itu.
Keempat
orang dari bilik itu sampai di Masjid Agung bertepatan saat iqomah. Dua di
antaranya masuk lewat pintu sebelah kiri, dua lagi masuk lewat pintu sebelah
kanan. Demikian pula saat mereka pulang. Mereka berempat kembali bersama menuju
bilik mereka.
Dengan
penerangan lampu minyak dalam bilik bambu itu, keempatnya bersama menikmati
sisa sore hari sambil mendengarkan radio RRI Jogja. Sementara si ibu sibuk di
dapur mengangkat nasi dari tungku. Menyiapkan menu sayur singkong dan sambal
bawang. Wanita itu memanggil-manggil putrinya untuk membantu. Sementara sang
ayah setia mendengarkan siaran radio bersama anak laki-lakinya.
Tak
berapa lama, menu makan malam itu datang. Keempatnya menikmati makan malam
bersama dalam suasana remang diiringi suara sinden dalam siaran radio.
“ Buk, kapan rumah kita nggak gelap
lagi?”, seloroh gadis cilik itu.
“ Besok ya Andaru, kalau ibu dapat
jatah mbatik banyak dan bapak bisa bikin bakpia banyak sekali.”, katanya dalam
sesungging senyum.
Lelaki
itu, seketika menghentikan makannya. Dilihatnya anak perempuan, bintang
kecilnya yang berkali-kali menyakan hal yang sama. Dielusnya rambut anak itu
penuh sayang. Sedang si kakak menunduk diam. Meraka kembali melanjutkan makan
malam.
Dan
begitulah hari-hari berlalu, hingga kedua kakak beradik itu tumbuh dewasa.
Sudah ada perkembangan. Bilik bambu di sudut kota itu berubah menjadi rumah
bertembok beton ukuran kecil dan diterangi oleh sinar lampu neon. Dan masih
dengan kebiasaan yang sama. Makan malam bersama, pergi ke masjid bersama. Dan
kedua kakak beradik itu masih tetep seperti biasa, berkejar-kejaran di bawah
pohon beringin alun-alun kota.
Ia
kembali tersenyum mengingat kelucuan dan perjuangan masa lampau itu. Tak terasa
sudah begitu lama. Ia merindukan saat-saat itu kembali. Di rumah kecil, namun
penuh suasana keluarga yang hangat. Ia kembali mengingat kapan terakhir kalinya
ia memeluk kedua sosok bapak dan ibunya, juga kakaknya.
Di
suatu pagi, bapak sudah berangkat ke pabrik. Dengar-dengar ada pesanan bakpia
dari Jakarta. Bapak yang bekerja sebagi buruh di pabrik bakpia begitu menyukai
profesinya. Ia membuat bakpianya dengan segenap hati, demi istri dan kedua
anaknya yang kini duduk di bangku kuliah.
Sedang si ibu baru saja menjemur
kain batiknya. Sudah jadi, tinggal tunggu kering. Rencananya kain batik itu
akan dikumpulkan pada juragannya.
Ia
masih ingat bagaimana, sang ibu berjuang dengan tangan seninya, membuat pola-pola
batik nan indah dengan canting dan malamnya. Ia masih ingat betul sang ayah
yang tak kenal lelah pulang pergi rumah-pabrik untuk membuat bakpia, juga
kadang menjadi kuli panggul di pasar Beringharjo dan Kranggan. Hingga
tahun-tahun pun berlalu ibunya bisa secara mandiri membuat batik, tak
bergantung pada bosnya. Meski cobaan masih terus ada, mengusik kebahagiaan sang
ibu, ketika kain-kain batik itu diinjak-injak oleh orang-orang yang tak suka.
Kini,
siapa tahu berkat batik dan bakpia itu keduanya telah berada di negeri mantan
penjajah, negeri kincir angin-Belanda dan negeri sakura-Jepang.
Kini,genap empat tahun sudah Andaru
di negeri tulip. Empat tahun ia habiskan waktunya di Utrecht University.
Baginya di negeri tulip ini ia masih bisa merasa dekat dengan tanah air.
Bilamana ia merindukan masakan kampung halaman, ia masih bisa menjumpainya
dengan mudah. Bilamana ia merindukan negerinya ia masih bisa melihat
kenangan-kenangan sejarah di berbagai museum.
Berbeda
dengan Arka. Negeri sakura sungguh jauh berbeda. Nyaris tak ia temui
barang-barang dari Indonesia. Hampir sepuluh tahun tinggal di sana, sama sekali
belum ada perubahan. Kadang ia meringis kesakitan. Membayangkan banjirnya
produk negeri sakura di negerinya, sedang sebaliknya yang ia lihat di negeri
sakura. Yang ia jumpai adalah deretan katakana, hiragana , dan kanji. Kadang ia
merindukan negerinya.
Belum
lagi, rasa sedih dan sakitnya yang masih terkenang. Lima tahun yang lalu ia
pulang ke negerinya. Ia berharap bisa memberikan karyanya untuk negerinya,
namun sayang keinginan mulianya itu belum terwujud. Kini ia hanya bisa menangis
dalam hati, melihat karya agungnya mengudara di antariksa. Dan begitulah
hidupnya berlanjut di negeri samurai ini. Seolah ia bergantung padanya. Pada
setiap paper dan jurnal penelitiannya. Ia menangis setiap kali merindukan
kampung halamannya.
Di sebuah laboratorium Tokyo University
Laki-laki itu mengangkat telpon untuknya.
“ Moshi..moshi..”
“ Assalamualaikum..Sensei”, suara
merdu itu sangat dikenalnya.
“ Andaru..”
“ Mas, studi dan penelitianku sudah
selesai, seminggu lagi aku akan pulang”
“ Syukurlah”
“ Mas Arka kapan pulang?”
“ Bukankah tahun ini tahun terakhir
di Tokyo….?”
“ Aku tak yakin, aku terlibat
proyek Hayabusa 2.”
Mendengar
jawaban kakaknya, gadis itu tak tinggal diam. Ia masih menyimpan harapan agar
kakaknya pulang. Ia ingin harapannya masa kecilnya terwujud, mereka berdua
menjadi ilmuwan di tanah air tercinta. Namun, cerita lewat telepon itu terus
berlanjut, bagaimana rencana sang kakak akan menghabiskan waktunya ke depan.
“ Kurasa aku tahu bagaimana
perasaan Habibie.”
Pernyataan itu mengetuk pintu
hatinya. Gadis itu sedih mendengar sang kakak mengatakannya. Ia sungguh
berharap kakaknya segera menyusulnya pulang.
“ Aku sungguh berterima kasih, di Jepang
aku bisa menghasilkan banyak karya.”
Satu lagi, pernyataan itu, semakin
menyayat hati kecilnya. Dengan kata sopan gadis itu menutup telponnya. Tak
kuasa mendengar cerita kakaknya. Airmatanya menetes. Dan siapa yang tahu,
laki-laki itu juga demikian keadaannya.
***
Andaru
melangkahkan kakinya ke dekat lemari kecil di sudut kamarnya. Dibukalah lemari
itu, diambillah sebuah kotak kardus bersampul coklat. Sebuah kiriman dari Jogja.
Ia membukanya.
Beberapa menit kemudian ia sudah
berada di kampus dengan motto "Sol
Iustitiae Illustra Nos" "Sun of Justice, shine upon us”,Utrecht University.
Ia langkahkan kakinya menuju podium.
Ia tampak anggun dengan kemeja batik yang dikenakannya. Ya, kemeja itu kiriman
ibunya dari Jogja. Ia sudah berikrar akan mengenakan kemeja itu saat upacara
wisuda. Dengan lantang ia mengungkapkan kebahagian akan kelulusannya.
Ia pun pernah berikrar ia akan
segera kembali ke Indonesia selepas lulus dari Utrecht. Ia ingin menepati
janjinya. Ia akan menjadi ilmuwan di negerinya, ya itulah janjinya. Janji yang
mungkin menyisakan sedikit kepedihan jika ia mengingat kakaknya.
***
Kapan
proyek Hayabusa selesai? Itu tanya dalam hatinya. Sungguh setahun berjalan
begitu cepat. Ia sudah kembali ke kampung halamannya, memenuhi janjinya. Namun
itu masih kurang lengkap baginya. Janji itu belum jua terpenuhi. Sang kakak belum
pulang ke tanah air.
Hayabusa.
Ia ingat pernah menonton film itu. Siapa sangka, sang kakak kini terlibat dalam
proyek itu. Karya kakaknya ikut mengudara bersama satelit luar angkasa milik
JAXA(Japan Aerospace exploration Agency) dengan tujuan meneliti asteroid Mars
itu. Itulah yang menyebabkan kakaknya tak segera pulang. Di sisi lain ia sangat
sedih jika mengingat kakaknya yang terkesan begitu bahagia di negeri sakura.
Masih ingatkah kakaknya pada janji
mereka? Janji bahwa keduanya akan menjadi ilmuwan di negeri ini. Janji yang
disaksikan pohon beringin alun-alun kota.
“ Aku akan menjadi ilmuwan fisika
di Indonesia. Nanti aku akan menemukan teknologi baru dan mengajak bersama
bangsa Indonesia untuk lebih maju,” teriak Andaru waktu itu.
“ Aku akan menjadi ahli astronomi!!
Nanti astronomi Indonesia akan lebih maju dari Rusia, Amerika, dan Jepang,” teriak
Arka.
“ Tapi, Mas nanti kalau mimpi kita
terwujud, kita bisa sekolah di luar negeri, kita harus berjanji kita akan
membawa pulang karya kita ke Indonesia.”
“ Janji!!”, keduanya berikrar penuh
semangat.
Ia
terus terngiang akan janji itu. Belum lagi ibu dan bapaknya yang semakin
bertanya-tanya kapan putranya kembali. Ia pun hanya berharap sang kakak segera
pulang memenuhi janji mereka pada tanah airnya. Sekali lagi ia hanya berharap.
Yogyakarta, 1 Januari 2014
Untuk mas Arka,
Assalamualaikum,
salam hangat dari kampung halaman tercinta. Semoga mas Arka senantiasa sehat
walafiat.
Mas, bapak dan ibu setiap hari
menanyakan kapan mas Arka akan pulang.
Kudengar proyek Hayabusa akan
diluncurkan tahun 2014 ini, yang ingin kutanyakan apa mas Arka akan bertahan di
Jepang sampai proyek itu selesai tahun 2020?
Ya, memang berat terikat kontrak dengan
JAXA. Tapi tidakkah kau ingat pada janji kecil kita?
Tapi bagaimanapun juga kau masih yakin
kau ingat pada janji itu, mungkin belum waktunya saja.
Oya,
kudengar namamu kini sudah menggema di Indonesia. Kau begitu terkenal sekarang,
bahkan bangsa Indonesia juga mengharapkan kau pulang. Kau sudah berhasil
menjadi kebanggaan Indonesia.
Meski
begitu, aku bisa merasakan posisimu sekarang, kami tak bisa berbuat banyak.
Kuharap ka uterus berkarya dan kelak pulang ke tanah air untuk memenuhi janji
kita.
Ini
ada sekedar kiriman dari bapak dan ibu, mereka ingin kau selelu mengingat
Indonesia darinya. Aku juga mengirimu sebuah file lagu yang menjadi kesukaanmu.
Semoga kau segera mendengarkannya.
Sugu ni modorimasu.
Kami harap kau segera pulang.
Salam hangat keluarga dan Indonesia,
Andaru.
Lelaki
itu baru saja menerima paket dari Indonesia. Ia membuka kardus kecil itu dan
membaca surat yang ada di dalamnya. Ada kiriman dari bapak, ibu, dan adiknya.
Ia membukanya satu persatu. Sebuah kemeja batik yang dibuat dari tangan terampil
sang ibu, beberapa kotak bakpia dari tempat bapaknya bekerja, dan sebuah flashdisk dari adiknya. Ia terharu
menerimanya, seolah ia bisa merasakan kampung halamannya.
Penasaran
dengan pesan sang adik, ia pun mengambil laptopnya. Begitu ia membuka file
flashdisknya hanya ada satu file di sana. Ia pun membukanya. Seketika hatinya
terhenyak, bergetar begitu mendengarnya. Perlahan airmatanya menetes dan tak
ada seorang pun yang tahu, kecuali hati kecilnya.
Indonesia tanah
air beta, pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak
dulu kala, tetap di puja-puja bangsa
Di sana tempat
tempat lahir beta, dibuai di besarkan bunda
Tempat
berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…
Sungguh
indah tanah air beta, tiada bandingnya di dunia
Karya
indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi
bangsa yang memujanya
Indonesia
ibu pertiwi, Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku
bahkan pun jiwaku
Kepadamu
rela kuberi…
Melodi
indah itu menggema dalam kamar kecilnya. Terus mengalir, berulang-ulang dalam
melodi yang masih sama. Menjadi saksi tangisnya yang merindukan tanah air
tercinta. Rasa rindu yang masih akan ia tahan enam tahun ke depan, menunggu
waktu untuk pulang, untuk memenuhi janjinya.
#van Giezt
Kisah
ini terinspirasi oleh ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang berjaya di luar negeri,
seperti :
- Prof. Dr.-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie presiden ketiga Indonesia, penerima Award von Karman (1992) di bidang kedirgantaraan yang
setara dengan Hadiah Nobel, Edward Warner Award, peraih gelar Doktor Kehormatan
(Doctor of Honoris Causa) dari berbagai Universitas terkemuka dunia antara lain
Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University. Mendesain beberapa
proyek pesawat terutama yang paling terkenal N-250, pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman.
- Dr.Warsito, penemu teknologi pemindai atau Electrical Capacitance
Volume Tomography (ECVT) 4 dimensi pertama di dunia,
pemilik paten ECVT yang didaftarkan di dokumen paten Amerika Serikat.Teknologi
tersebut kini dipakai oleh Badan Antariksa Amerika Serikat atau National
Aeronautics and Space Administration (NASA).
- Prof
. Dr. Mezak Arnold Ratag, penemu
Planetary Nebula Cluster, penerima
penghargaan The International Astronomical.
- Josaphat
T.S Sumantyo, penemu radar 3 dimensi peraih berbagai penghargaan dariChiba University.
The Society and Control Engineers (SICE) remote Sensing Division Award.
- Dr.
Johny Setiawan, penemu
planet baru HIP 13044b, lulusan doktor termuda di Albert-Ludwigs Universitas,
Greiburg, Jerman. Satu-satunya ilmuwan non Jerman yang menjadi Ketua Tim Proyek
Max Planck Institute for
Astronomy, di Heidelberg, Baden-Württemberg, Jerman sejak tahun 2003.
- Prof.
Dr. Khoirul Anwar, pemilik
paten di Jepang atas sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal
Frequency Division Multiplexing) yang kini bekerja di Nara Institute of Science
and Technology, Jepang.
- Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi, penemu Membran Sel Bahan Bakar, doctor
of Engineering lulusan dari Waseda University Tokyo Jepang.
- Dr. Yogi Ahmad Erlangga, penemu rumus matematika berdasarkan persamaan
Herlmholtz guna pencarian sumber minyak bumi,
peraih gelar doktor dari Universitas Teknologi Delft, Belanda.
Dan ilmuwan lain yang belum tersebut namanya, yang mungkin tengah
merindukan tanah air tercinta, Indonesia.
No comments:
Post a Comment